Rabu, 23 Mei 2012


"Tulang Banyak Berbicara"



 "Tulang banyak berbicara dalam dunia antropolog". Itu hasil perbincangan saya dengan Guru besar antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Profesor Josef Glinka SVD. Saya menemuinya pada sebuah pagi di  Hotel Hyatt Yogyakarta. Dia tengah memasang alat penetralisir pada rumah dua orang seniman yang memiliki persilangan air di rumah mereka. Di bagian lain saya akan bercerita khusus tentang ini.

Sayangnya, ilmu antropologi rupanya tak begitu diminati oleh orang Indonesia. Padahal, kata Pater Glinka, saya biasanya menyapa begitu, sungguh berguna bagi Indonesia yang mempunyai suka beragam, peninggalan jaman purba. "Antropologi untuk mengenal masa lampau Indonesia.  ilmu itu  patriotis. Karena itu bukan  hanya sekedar tulang belulang. Tapi tulang belulang bisa bicara," ujarnya. Tak semua ilmu antropologi bicara manusia lampau atau purba. Antropogi forensik yang lebih khusus dari ilmu antropologi bahkan berguna untuk pengungkapan kasus-kasus kriminal. Misalnya, pada suatu hari kepolisian menemukan kerangka  kepala utuh di sebuah parit di Kota Surabaya. Mereka kesulitan menemukan identifikasi  tengkorak tersebut.

Doktor antropolog forensik dari UNAIR,  anak buah Pof Glinka, Doktor Toetik Koesbardiati diminta membantu polisi memecahkan ini. Dialah satu dari doktor antropolgi forensik berdiploma internasional yang dimiliki Indonesia. “Bayangkan baru ada doktor antropologi forensik berdiploma internasional di Indonesia,” ujarnya. Satu doktor forensik lainnya sudah bergelar profesor dari Universitas Gadjah Mada yakni Prof Etty Indriati. Beruntung saya juga pernah mewawancai Prof Etty. Muda, cantik, dan lebih dikenal di dunia internasional.  Kiprah pendidikannya lebih banyak malang melintang di universitas terkemuka di luar negeri.

Dari hasil menguji itu, Toetik memperkirakan jasad itu orang asing, tapi  untuk meyakinkan temuan ini dia datang kepada sang guru. “’Kamu lupa. Ambil bolpoin, masukkan ke hidung. Kalau ada halanganya, maka  dia ras asing, kalau tidak ada  maka dari sini,” kata Pater Glinka.  Ternyata benar. Keranga itu berasal dari  Arab. Dari catatan polisi empat tahun sebelumnya, ada laporan kehilangan warga Arab. Hemmmm…keren.

Antropologi ragawi dimana Pater Glinka paling "jago" di bidangnya merupakan  ilmu yang memelajari  macam-macam manusia khususnya ras manusia,  suku, berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Cabang ilmunya antara lain antropologi forensik. Antropologi ragawi menjadi salah satu ilmu dasar  antropologi  forensik. Dengan kemampuan antropologi ragawi yang baik maka seorang antropolog forensik akan membantu  penerapan antropologi forensik di lapangan.  Forensik antropologi terutama untuk menentukan identitas jasad berdasar bukti yang tersedia, yaitu menentukan jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, dan pertalian ras.

Nah, jatuhnya korban Shukoi di Gunung Salak jelas memerlukan antropolog forensik. Memang antropolog forensik tidak tunggal bekerja. Bersama ilmu kedokteran mereka bahu membahu mengidentifikasi jenasah yang  hancur lebur. “Tidak ada satupun kerangka kepala yang utuh,” kata  anak buah Pater Glinka lainnya, Rusyad Adi Suriyanto. “Jasad hangus, hancur, dan terbuai, tidak ada yang utuh.” Satu-satunya pengidentifikasian jenasah melalui  tes DNA. Hasilnya baru dua minggu paling cepat. Ratusan dosen, polisi, dokter  terlibat dalam pengidentifikasian ini mengingat  jenasah yang  tercerai berai.

Mengingat begitu bermanfaatnya ilmu ini, maka seharusnya putera puteri terbaik Indonesia tergerak hatinya untuk menekuni bidang ini. Nah, data yang diungkapkan Pater Glinka sungguh mengejutkan saya. Ini ketika saya menanyakan idealnya jumlah  doktor dan professor di Indonesia. Beliau menjawab. “Negara Polandia yang besarnya  se-Pulau Jawa, memiliki  120 profesor antropolog. Sementara Indonesia hanya punya 10-20 antropolog dan hanya dua profesor.” Dua professor antropolog itu adalah  Prof Glinka dan Prof Etty.” Satu profesor lainnya yakni Teuku Jacob sudah meninggal dunia.

Sedikitnya minat mereka ke antropologi karena masa depannya kurang menjanjikan. “Duitnya sedikit dan lapangan kerjanya kurang,” kata pastor berusia 80 tahun ini. Padahal begitu  banyak fosil yang tersebar di seluruh Indonesia. Penemuan fosil yang didominasi di Jawa ini besar kemungkinan karena banyak ahli di Pulau Jawa. Dia yakin sekali  fosl, peninggalan  purbakala yang menjawab tentang awal kehidupan manusia di Indonesia masih berserakan di seluruh wilayah Indonesia. Tentu, Indonesia memerlukan ahli. Kalau tidak penemuan-penemuan yang ada banyak di bawa ke luar negeri dan kita tinggal gigit jari, deh.


Semoga saja, kalau ada teman-teman yang membaca blog ini dan dia belum memutuskan  mengambil jurusan apa, terpanggil di bidang ini. Saya sendiri selama beberapa jam ngobrol serasa mendapat pelajaran 2 SKS. Sangat menarik. Kenapa saya ndak mengambil jurusan ini ya?


Yogyakarta, 15 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar