Rabu, 17 April 2013

"Tak kenal maka tak sayang" itulah gambaran dari negara kita Indonesia, berbagai keanekaragaman suku, budaya, adat istiadat dan itu pula membuat Indonesia semakin beragam akan pesona alamnya. mengunjungi tempat eksotik tak perlu jauh-jauh sampai keluar negeri, padahal di indonesia banyak pesona alam yang lebih menarik contohnya saja Raja Ampat di papua yang terkenal laut birunya dengan biota laut yang kaya dan masih banyak lagi yang akan saya tampilkan (to be continue)


Indonesia is my home, I'm proud. So, come on visit Indonesia

Minggu, 05 Agustus 2012

RAMADHAN ATTACK

Loyalitas tanpa batas untuk KKA 2012
Jumat, 03 Agustus 2012

 at Airlangga

Menu berbuka hari ini Agar-agar Coklat + kacang goreng buatan Ais :))

Rabu, 23 Mei 2012


"Tulang Banyak Berbicara"



 "Tulang banyak berbicara dalam dunia antropolog". Itu hasil perbincangan saya dengan Guru besar antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Profesor Josef Glinka SVD. Saya menemuinya pada sebuah pagi di  Hotel Hyatt Yogyakarta. Dia tengah memasang alat penetralisir pada rumah dua orang seniman yang memiliki persilangan air di rumah mereka. Di bagian lain saya akan bercerita khusus tentang ini.

Sayangnya, ilmu antropologi rupanya tak begitu diminati oleh orang Indonesia. Padahal, kata Pater Glinka, saya biasanya menyapa begitu, sungguh berguna bagi Indonesia yang mempunyai suka beragam, peninggalan jaman purba. "Antropologi untuk mengenal masa lampau Indonesia.  ilmu itu  patriotis. Karena itu bukan  hanya sekedar tulang belulang. Tapi tulang belulang bisa bicara," ujarnya. Tak semua ilmu antropologi bicara manusia lampau atau purba. Antropogi forensik yang lebih khusus dari ilmu antropologi bahkan berguna untuk pengungkapan kasus-kasus kriminal. Misalnya, pada suatu hari kepolisian menemukan kerangka  kepala utuh di sebuah parit di Kota Surabaya. Mereka kesulitan menemukan identifikasi  tengkorak tersebut.

Doktor antropolog forensik dari UNAIR,  anak buah Pof Glinka, Doktor Toetik Koesbardiati diminta membantu polisi memecahkan ini. Dialah satu dari doktor antropolgi forensik berdiploma internasional yang dimiliki Indonesia. “Bayangkan baru ada doktor antropologi forensik berdiploma internasional di Indonesia,” ujarnya. Satu doktor forensik lainnya sudah bergelar profesor dari Universitas Gadjah Mada yakni Prof Etty Indriati. Beruntung saya juga pernah mewawancai Prof Etty. Muda, cantik, dan lebih dikenal di dunia internasional.  Kiprah pendidikannya lebih banyak malang melintang di universitas terkemuka di luar negeri.

Dari hasil menguji itu, Toetik memperkirakan jasad itu orang asing, tapi  untuk meyakinkan temuan ini dia datang kepada sang guru. “’Kamu lupa. Ambil bolpoin, masukkan ke hidung. Kalau ada halanganya, maka  dia ras asing, kalau tidak ada  maka dari sini,” kata Pater Glinka.  Ternyata benar. Keranga itu berasal dari  Arab. Dari catatan polisi empat tahun sebelumnya, ada laporan kehilangan warga Arab. Hemmmm…keren.

Antropologi ragawi dimana Pater Glinka paling "jago" di bidangnya merupakan  ilmu yang memelajari  macam-macam manusia khususnya ras manusia,  suku, berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Cabang ilmunya antara lain antropologi forensik. Antropologi ragawi menjadi salah satu ilmu dasar  antropologi  forensik. Dengan kemampuan antropologi ragawi yang baik maka seorang antropolog forensik akan membantu  penerapan antropologi forensik di lapangan.  Forensik antropologi terutama untuk menentukan identitas jasad berdasar bukti yang tersedia, yaitu menentukan jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, dan pertalian ras.

Nah, jatuhnya korban Shukoi di Gunung Salak jelas memerlukan antropolog forensik. Memang antropolog forensik tidak tunggal bekerja. Bersama ilmu kedokteran mereka bahu membahu mengidentifikasi jenasah yang  hancur lebur. “Tidak ada satupun kerangka kepala yang utuh,” kata  anak buah Pater Glinka lainnya, Rusyad Adi Suriyanto. “Jasad hangus, hancur, dan terbuai, tidak ada yang utuh.” Satu-satunya pengidentifikasian jenasah melalui  tes DNA. Hasilnya baru dua minggu paling cepat. Ratusan dosen, polisi, dokter  terlibat dalam pengidentifikasian ini mengingat  jenasah yang  tercerai berai.

Mengingat begitu bermanfaatnya ilmu ini, maka seharusnya putera puteri terbaik Indonesia tergerak hatinya untuk menekuni bidang ini. Nah, data yang diungkapkan Pater Glinka sungguh mengejutkan saya. Ini ketika saya menanyakan idealnya jumlah  doktor dan professor di Indonesia. Beliau menjawab. “Negara Polandia yang besarnya  se-Pulau Jawa, memiliki  120 profesor antropolog. Sementara Indonesia hanya punya 10-20 antropolog dan hanya dua profesor.” Dua professor antropolog itu adalah  Prof Glinka dan Prof Etty.” Satu profesor lainnya yakni Teuku Jacob sudah meninggal dunia.

Sedikitnya minat mereka ke antropologi karena masa depannya kurang menjanjikan. “Duitnya sedikit dan lapangan kerjanya kurang,” kata pastor berusia 80 tahun ini. Padahal begitu  banyak fosil yang tersebar di seluruh Indonesia. Penemuan fosil yang didominasi di Jawa ini besar kemungkinan karena banyak ahli di Pulau Jawa. Dia yakin sekali  fosl, peninggalan  purbakala yang menjawab tentang awal kehidupan manusia di Indonesia masih berserakan di seluruh wilayah Indonesia. Tentu, Indonesia memerlukan ahli. Kalau tidak penemuan-penemuan yang ada banyak di bawa ke luar negeri dan kita tinggal gigit jari, deh.


Semoga saja, kalau ada teman-teman yang membaca blog ini dan dia belum memutuskan  mengambil jurusan apa, terpanggil di bidang ini. Saya sendiri selama beberapa jam ngobrol serasa mendapat pelajaran 2 SKS. Sangat menarik. Kenapa saya ndak mengambil jurusan ini ya?


Yogyakarta, 15 Mei 2012

Senin, 14 Mei 2012

Kuliah Lapangan Antropologi Perkotaan & Pariwisata

 Rimel dan Ryan Ferreiro 

Tugu Muda

Eryk, Zywa, Joko, Anam, Dokeh, Gaback, Aryoso 
Ryan, Fitrah, Diaz

Foto di depan Lawang Sewu

Senin, 30 Januari 2012

KKA sebagai "Sebuah Proses Menjadi"


hal ini sering dipertanyakan oleh kalangan mahasiswa terutama mahasiswa baru Antropologi.  " kak, apa sih makna inisiasi????" dan disini saya menjelaskan makna inisiasi dalam Antropologi. Makna Inisisasi adalah "Sebuah proses menjadi," seperti halnya ucapan Prof. Dr. L. Dyson tatkala mengomentari foto pelaksanaan KKA 2011 dalam suatu jejaring sosial. Memang pelaksanaan KKA tahun 2011 kemarin, tergolong semarak. Setidaknya itu tercermin dari banyaknya dosen Antropologi yang hadir kala itu. Selain Prof. Dr. L. Dyson dan Ketua Departemen Antropologi, Sri Endah Kinasih, M.Si., tampak hadir Djoko Adi Prasetyo, M.Si., dan Budi Setiawan, M.A., selaku dosen pembina. Selain itu, hadir pula Dr. Toetik Koesbardiati, yang selain dosen, juga mewakili alumni (KELUARGA).

KKA merupakan singkatan dari Kemah Kekerabatan Antropologi, sebagai ritual ucapan “selamat datang” bagi mahasiswa baru Antropologi Universitas Airlangga. Ada juga yang mengenalnya sebagai Kemah Keakraban Antropologi. Bahkan secara berseloroh, ada pula yang menyebutnya sebagai Kamp Konsentrasi Antropologi.

Biasanya, KKA ini dilaksanakan pada medio tahun pertama bagi mahasiswa baru Antropologi. Disebut kemah, karena memang, KKA ini selalu digelar di luar kampus. Tepatnya, dilaksanakan pada suatu bumi perkemahan yang dipilih secara khusus.

“Pertama kali saya mendengar tentang KKA banyak hal negatif yang saya bayangkan. Tetapi, setelah saya mengikuti seluruh kegiatan KKA, saya menjadi kian yakin bahwa Antropologi memang pilihan yang tepat untuk saya !” demikian ungkap mahasiswi Antropologi angkatan 2011, ditemui sesaat setelah mengikuti kegiatan KKA baru lalu.
KKA selalu menyajikan dialektika yang menarik di permukaan. Bagi Universitas lain yang memiliki program studi Antropologi, kegiatan semacam KKA ini kerap disebut sebagai Inisiasi Mahasiswa Baru. Jadi, bagi mahasiswa Antropologi, KKA ini bukan sekedar ajang Ospek yang sengaja digelar di tingkat Prodi.
Inisiasi, memang sebuah istilah yang telah dikenal luas di kalangan antropolog. Inisiasi ini, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Mordecai Marcus, diartikan sebagai bagian dari masa kecil, menuju remaja, hingga kemudian keanggotaannya dapat diterima secara penuh dalam adult society. Agar dapat diterima, biasanya inisiasi juga melibatkan beberapa jenis ritual simbolis.
Dalam kajian sastra, istilah inisiasi ini, diakui telah dipinjam dari Antropologi, dan dikemukakan untuk yang pertama kali setelah Perang Dunia II. Merujuk pada pendapat Freese, maka J.E. Gotowos menulis deskripsi yang melukiskan inisiasi sebagai sebuah langkah menuju pemahaman diri. Inisiasi menggambarkan sebuah episode untuk mendapatkan wawasan dan pengalaman, dimana pengalaman ini umumnya akan dianggap sebagai tahapan penting dalam menuju kedewasaan. Pada karakteristik yang lain, inisiasi menekankan pada aspek dualitas, berupa hilangnya kepolosan melalui sebuah pengalaman menyakitkan, namun diperlukan. Bahkan dapat disebut sebagai keuntungan dalam memperoleh identitas.
Selain itu, pengalaman inisiasi, baik itu berupa aturan, tugas dan perilaku yang dipelajari, memang sengaja diaktifkan agar dapat menjadi anggota penuh dari sebuah masyarakat. Di sini, inisiasi berfokus pada pengalaman individu dan konsekuensinya, hingga bersandar pada aspek sosiologis inisiasi. Pada aspek yang lain, inisiasi dapat menjelaskan proses penemuan antara "diri" dan "realisasi diri", yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai proses individuasi.

Satu hal penting yang perlu disampaikan, jika memang KKA dapat diartikan sebagai suatu bentuk inisiasi, KKA pun akan memiliki agenda untuk mengajak mahasiswa baru, guna mengalami perubahan sehubungan dengan pengetahuannya tentang dunia atau diri mereka sendiri, perubahan karakter, atau keduanya.

Dan yang terpenting, perubahan ini harus merujuk pada titik yang sanggup membawanya menuju dunia "orang dewasa". Meski KKA juga merefleksikan beberapa bentuk ritual, namun dalam tantangannya, KKA juga harus mampu memberikan beberapa bukti bahwa perubahan positif itu, setidaknya cenderung memiliki efek yang permanen.

"Banyak hal yang bisa saya dapatkan dari kegiatan KKA ini. Mulai dari pembelajaran tujuh unsur budaya, mempraktekkan tentang apa itu Antropologi Visual, hingga menyerap rasa persaudaraan yang kental. Bisa dikatakan KKA 2011 ini, tidak bisa dilupakan begitu saja ! Penyambutan calon kerabat dengan tari-tarian hingga acara inisiasi yang telah menyambut kedatangan kita sebagai Kerabat Antropologi. KKA ini mengajarkan saya hal-hal baru," pungkas salah seorang peserta KKA 2011 Antropologi Universitas Airlangga.

Minggu, 22 Januari 2012

Antropologi Bukan Mencetak 'Tukang Sarjana

Roky Maghbal (alumni angkatan 1996)
Antropologi ? Jujur saja, sebelumnya tak pernah sedikitpun terbesit di benak saya, untuk mengambil studi ini, sebagai jenjang pendidikan lanjutan setelah lulus SMA. Keputusan menjatuhkan pilihan pada Antropologi FISIP UNAIR, juga bukan 100 % dari minat atau lubuk hati saya yang paling dalam, melainkan atas saran dari salah seorang mentor lembaga bimbingan belajar BES di Jalan Srikana, Surabaya.

Banyak pertanyaan yang memenuhi benak saya pada masa-masa awal perkuliahan. Dimulai dari mempertanyakan apa itu Antropologi yang sejatinya benar-benar baru bagi saya (maklum, semasa SMA saya mengambil jurusan A1 atau IPA), hingga pertanyaan ’lugu’ seorang mahasiswa baru yang ingin tahu, "Bisa kerja apa kelak setelah menyandang gelar sarjana Antropologi ?"

Pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung terjawab hingga masa studi saya menginjak semester akhir. Tetap saja saya kesulitan memberi jawaban ketika ditanya orang tua atau teman tentang apa itu Antropologi. Termasuk menjawab pertanyaan ’klasik’ tentang bakal kerja apa setelah lulus nanti.

Saya baru menemukan jawaban itu setelah nyambi bekerja sebagai surveyor di DetEksi (Jawa Pos) pada tahun 2000. Selain menjalankan tugas sebagai surveyor, saya juga sering berkontribusi memberi usulan topik survei (tentang perilaku anak muda di Surabaya yang menjadi bahasan DetEksi). Karenanya, saya mendapat promosi sebagai penulis, dan dilanjutkan kemudian dengan meniti karir sebagai wartawan olahraga.

Tanpa saya sadari, banyak hal yang saya pelajari selama kuliah tentang segala aspek manusia, beserta keanekaragaman perilaku maupun budayanya. Dan ternyata, hal ini telah memberi manfaat yang besar bagi saya dalam meniti profesi sebagai wartawan hingga kini. Bahkan tak hanya berprofesi sebagai wartawan, kini saya pun turut mendirikan media consultant yang menangani majalah, website, company profile, video profile, branding, serta beberapa bentuk konsultasi lain.

Sebagai manusia yang telah belajar banyak hal tentang manusia beserta budayanya, tak sulit bagi saya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dengan cepat . Ini sangat memudahkan saya, saat mendapat tugas liputan luar kota atau luar negeri.

Kini, pertanyaan saya telah terjawab. Antropologi FISIP UNAIR memang tidak mencetak seseorang menjadi 'Tukang Sarjana' (meminjam istilah dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan), melainkan manusia yang lebih bernalar dan berwawasan luas, sehingga gampang beradaptasi, terserah apapun profesi yang dipilihnya kelak setelah lulus kuliah.

Terima kasih kepada Bapak mentor di lembaga bimbingan belajar BES yang mengarahkan saya agar kuliah di Antropologi FISIP UNAIR (maaf, saya lupa namanya), dan terima kasih juga yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu staf pengajar Antropologi FISIP UNAIR.